Ketua Umum Pencak Silat Nahdlatul Ulama (PSNU) Pagar Nusa Aizzudin
Abdurrahman (Gus Aiz) menyayangkan atas terjadinya kasus penghentian
ceramah maulid yang melibatkan dua tokoh agama, KH Nuril Arifin yang
juga Dewan Khos Pagar Nusa dengan Habib Ali bin Husein Assegaf dalam
acara maulid Nabi di masjid As-Su’adah Jatinegara Jakarta Timur, Jumat
(20/2) malam lalu.
Seperti diwartakan, Habib Ali bin Husein
Assegaf Dzikir Nurul Habib menghentikan ceramah maulid yang disampaikan
oleh Gus Nuril karena tidak sepakat dengan materi yang sedang
disampaikan.
“Seharusnya tidak terjadi, apalagi di dalam sebuah
acara sekelas maulid Nabi, semestinya mereka justru memberikan teladan
yang baik kepada seluruh jama’ah yang hadir dan masyarakat Indonesia,”
ujarnya saat dihubungi, Senin (23/2).
Gus Aiz menambahkan,
masyarakat zaman sekarang mudah tersulut emosi melalui pemberitaan
media. Apalagi sarana media penyebar informasi telah berkembang pesat,
sehingga jika ada informasi terkait dengan masalah-masalah sensitif,
sangat cepat tersebar.
“Tentu efeknya tidak baik di tengah-tengah
masyarakat dan menimbulkan konflik sosial, karena melibatkan tokoh
panutan,” ucapnya sembari menceritakan respon para anggota Pagar Nusa di
berbagai daerah.
Tentu Pagar Nusa, lanjut Gus Aiz, tidak
mentolerir model dakwah yang cenderung menebar kebencian. Ia
menambahkan, bahwa selama ini, ceramah Gus Nuril memang selalu
menekankan arti kerukunan antarumat beragama, pluralisme, tegaknya NKRI,
dan lain-lain.
“Kami bukannya tidak setuju dengan Habib Ali
yang menurut informasi membawa massa FPI,” jelasnya. “Tetapi kami juga
tidak sependapat dengan tindakannya yang berupaya menghentikan ceramah
Gus Nuril di tengah-tengah acara,” lanjutnya.
“Walau
bagaimanapun, Pagar Nusa dari dulu tegas menolak model dakwah FPI yang
cenderung fasad atau merusak, menganiaya, dan menuai kekerasan, meskipun
dia seorang Habib,” tegas Gus Aiz.
Ia berharap, persoalan yang
terjadi antara Gus Nuril dan Habib Ali tidak diperpanjang dan menghimbau
para anggota Pagar Nusa untuk tidak tersulut emosi. Dia menambahkan,
konflik lebih banyak mendatangkan kerusakan, apalagi hal itu dilakukan
oleh tokoh panutan masyarakat.
“Kami hanya menghimbau,
setidaknya bersikaplah seperti ulama-ulama zaman dulu, meski berbeda
pendapat, tetapi mereka dapat menempatkan diri supaya kebaikan di tengah
masyarakat tetap terjaga,” harapnya.
Ia menambahkan, panitia
acara juga seharusnya mampu merancang acara dengan baik. Mulai dari
tujuan, konsep, dan teknis acara sehingga tidak terjadi hal-hal
demikian. (Fathoni *)
Menebar Kebaikan dan Kesejahteraan (Salam)
Jumat, 03 April 2015
Selasa, 31 Maret 2015
Siapa Paling Dekat dengan Tuhan?
Tokoh agama Islam, Kristen, dan Budha sedang berdebat. Gus Dur tentu sebagai wakil dari agama Islam. Kala itu diperdebatkan mengenai agama mana yang paling dekat dengan Tuhan ?
Seorang biksu Budha menjawab duluan. “Agama sayalah yang paling dekat dengan Tuhan, karena setiap kita beribadah ketika memanggil Tuhan kita mengucapkan ‘Om’. Nah kalian tahu sendiri kan seberapa dekat antara paman dengan keponakannya?”
Seorang pendeta dari agama Kristen menyangkal.“Ya tidak bisa, pasti agama saya yang lebih dekat dengan Tuhan.” ujar pendeta
“Lah kok bisa ?” sahut biksu penasaran.
“Kenapa tidak,agama anda kalau memanggil Tuhan hanya om, kalau di agama saya memanggil tuhan itu ‘Bapa’ Nah kalian tahu sendiri kan lebih dekat mana anak sama bapaknya daripada keponakan dengan pamannya,” jawab pendeta.
Gus Dur yang belum mengeluarkan argumen masih tetap tertawa malah terbahak-bahak setelah mendengar argumen dari pendeta.
“Loh kenapa anda kok tertawa terus?” tanya pendeta penasaran.
“Apa anda merasa bahwa agama anda lebih dekat dengan tuhan?” sahut biksu bertanya pada Gus Dur.
Gus Dur masih saja tertawa sambil mengatakan “Ndak kok, saya ndak bilang gitu, boro-boro dekat justru agama saya malah paling jauh sendiri dengan Tuhan.” jawab Gus Dur dengan masih tertawa.
“Lah kok bisa ?” tanya pendeta dan biksu makin penasaran.
“ Lah gimana tidak, lah wong kalau di agama saya itu kalau memanggil Tuhan saja harus memakai Toa (pengeras suara),” jawab Gus Dur.
Sumber *
Langganan:
Postingan (Atom)